Thursday, April 10, 2008

Akankah Guru Honor Sejahtera ?

Oleh: Eko Sumarsono
(Wakil Ketua DPD KNPI Prov Kepri; ketua DPD IMM Prov Kepri)

....... Tanpa sebuah kepalsuan semua guru meyakini guru artinya Ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan
Tapi dunianya ternyaa tuli setuli batu… tak berhati
Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir
Tatkala dunianya tidak bersahabat tidak mungkin menjadi guru yang Guru
………………..
Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?
Kenapa ketika orang menangis kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan kami harus tetap kelaparan?
………………..



Penggalan Litani (senandung kehidupan, doa dan harapan) karya Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad yang pernah dibacakan dalam peringatan hari guru ke-60 di Stadiun Manahan Surakarta pada hari Minggu 27 November 2005 tersebut menggambarkan betapa ironisnya nasib yang harus diterima oleh sosok yang bernama GURU.

GURU, menjadi pilar utama dalam dunia pendidikan dengan tugas utama yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada setiap jenjang pendidikan, dan dengan tujuan menciptakan individu-individu yang merdeka, matang, bertanggung jawab dan peka terhadap realitas sosial. Maju atau tidaknya suatu negara tergantung dari seberapa besar peran dan kontribusi sosok yang bernama GURU. Maka tidak salah lagi ketika pasca perang dunia pertama, yakni pasca dijatuhkannya bom atom oleh tentara sekutu di Nagasaki dan Hiroshima, yang pertama dilakukan oleh Jepang adalah mendata berapa jumlah guru yang masíh hidup. Terbukti dengan begitu sangat menghargai peran guru, dalam kurun waktu yang tidak begitu lama Jepang sudah menjadi negara Sangat di segani di dunia.

Guru tetaplah guru, baik guru swasta (honorer) maupun guru negeri adalah sama dan sebangun, tidak ada bedanya dalam tugas dan tanggung jawab. Ketika terkait dalam tuntutan profesionalnya, semua sama-sama memerlukan akses informasi dan teknologi yang memadai. Dalam hal pelaksanaan amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, baik guru swasta (honorer) maupun guru negeri juga sama-sama sebagai ujung tombak pendidikan dalam hal pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan bangsa, disamping dalam mewujudkan tujuan Undang-Undang tersebut yakni untuk berkembangnya kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai aklak yang mulia.

Jasa dan pengorbanan guru tidak akan dapat dibanding dengan nilai apa pun juga. Apapun usaha yang dilakukan pemerintah tidak akan pernah dapat senilai dengan apa yang sudah diberikan oleh guru. Bahkan dalam beberapa lirik lagunya itu, Sartono menyebut Guru sebagai “pelita dalam kegelapan, laksana embun penyejuk dalam kehausan, patriot pahlawan bangsa Tanpa tanda jasa”.

Namun ada satu hal yang harus di garis bawahi bahwa guru bukanlah malaikat. Mereka tetap saja sebagai manusia biasa. Dalam perjuangannya, mereka juga memerlukan kekuatan materi untuk penyangga kehidupannya. Bentuk pengharapan mereka akan materi adalah hal yang wajar adanya. Namun realita yang terjadi adalah masih adanya gaji guru yang lebih rendah dari UMK (Upah Minimun Kota), yang tak ubahnya gaji para pekerja kasar ataupun pembantu rumah tangga yang tidak memerlukan keahlian apapun dalam menjalankan pekerjaannya.

Mungkin beruntung bagi guru negeri yang standar gajinya sudah mengikuti standar gaji PNS lainnya, yakni minimal sama atau sudah melampaui UMK. Apalagi bagi yang sudah mengikuti sertifikasi pendidikan, mungkin tidak terlalu risau lagi. Sementara guru swasta / honorer, yang besarnya gaji / pendapatan ditentukan oleh lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta tempatnya bekerja, pada umumnya menerima lebih kecil dibandingkan dengan UMK.

Contoh Chairul, seorang guru honor sekolah negeri di Batam yang dari pengabdiannya mendapat gaji sebesar Rp. 362.500. Pendapatan tersebut didapat dari total jam mengajar yang diambilnya yakni 29 jam dengan upah Rp. 12.500 / jam (Perhitungan jumlah jam belajar dalam satu bulan adalah sama dengan jumlah jam yang diambilnya dalan satu minggu). Masih beruntung Choirul mendapatkan insentif dari Pemerintah kota Batam meski jumlahnya hanya Rp. 200.000,- perbulan dan Insentif dari pemerintah provinsi Rp. 250.000,- perbulan. Jadi total Gaji yang diterimanya adalah Rp. 812.500,- (delatan ratus dua belas ribu lima ratus rupiah). Itupun masih dalam perhitungan secara matematis, karena insentif yang diberikan oleh Pemko Batam adalah per 3 bulan dan dari pemerintah provinsi Kepri adalah per 6 bulan. Berarti sebelum menerima insentif tersebut, Choirul hanya menerima Rp. 362.500 perbulannya. Bandingkan dengan UMK Kota Batam yang jumlahnya Rp. 960.000,- dan itu pun masih di bawah KHL (kemampuan Hidup Layak).

Bagaimana bisa berlangganan koran, membeli buku maupun mengakses Internet untuk mengembangkan wawasan dan profesionalisme, sedang untuk biaya hidup di Batam saja masih jauh dari cukup. Namun ketika terjadinya keterpurukan dalam bidang pendidikan di negeri ini maka guru tetap di anggap yang paling bertanggung jawab. Bak buah simalakama, dimakan bapak mati tidak dimakan ibu mati.

Ketidakjelasan dan Ketidakadilan Regulasi

Saat membuka The Seventh E-9 Ministerial Review Meeting on Teacher Education and Training di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/3), Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan dunia pendidikan memiliki tiga komponen yakni sistem, pendanaan, dan guru. Jika sistem pendidikan sudah baku, pendanaan sudah proporsional, tapi kualitas guru masih dibawah standar, maka upaya pengembangan pendidikan akan tetap stagnan. Jadi untuk perubahan ke arah lebih baik, maka untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru tidak bisa ditawar lagi.

Semangat demikian hendaknya menjadi dasar bagi pemerintah daerah di dalam mengambil kebijakan-kebijakan bidang pendidikan. Dengan menempatkan kesejahteraan guru secara proporsional, maka profesionalisme guru akan semakin meningkat. Guru negeri (PNS) maupun guru swasta (honorer) seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, dalam sistem penggajian pun harus dibuat regulasi yang sama dan adil.

Kebijakan perhitungan upah atau penghasilan bagi guru swasta / honor yang selama ini masih menggunakan standar perhitungan pada minggu pertama dalam satu bulan Sangatlah tidak manusiawi. Bayangkan berapa pendapatan seorang guru swasta / honor bila hanya dihitung berdasar jumlah jam mengajar pada minggu pertama, sementara mereka harus mengajar empat minggu dalam sebulan. Artinya, bila seorang guru honor mendapat jatah mengajar dua puluh jam dalam seminggu, maka dalam satu bulan ia hanya menerima honor sebesar 20 kali honor rata-rata per jam. Bila sekolah menerapkan kebijakan upah per jam adalah Rp. 12.500 maka pendapatan guru tersebut adalah Rp. 250.000 dalam satu bulan. Padahal, dalam sebulan ia minimal harus tampil di sekolah yang bersangkutan 20 kali empat minggu yaitu 80 jam pelajaran. Sangatlah ironis ketika gaji seorang guru ternyata lebih kecil dibangdingkan dengan gaji Pembantu Rumah Tangga yang hanya lulusan Sekolah Dasar.

Di lain pihak, mungkin kita sering menjumpai guru-guru negeri dan di sekolah-sekolah swasta “elit” yang berpenampilan modis, lengkap dengan dasinya dan berkendaraan motor keluaran terbaru bahkan mobil pribadi. Apa dan siapa yang salah? Mengapa jurang perbedaan tersebut begitu besar?

Pemberian insentif bagi guru juga tidak sepantasnya pilih kasih. Guru honorer / swasta juga berhak mendapatkan insentif dari pemerintah dengan jumlah yang sama dengan guru-guru yang lain.

Namun dengan alasan pembenaran klise bahwa anggaran pendidikan yang terbatas, beberapa pemerintah daerah/kota sering kali mengeluarkan regulasi ketidakadilan tersebut. Demikian juga yang dilakukan pemerintah kota Batam, dalam pemberian insensif bagi guru terkesan pilih kasih. Bagi guru negeri (PNS), semua mendapatkan insentif sebesar Rp. 500.000/bulan, namum bagi guru honor terbagi atas tiga golongan. Pertama; mereka yang mendapatkan Rp. 500.000/bulan, kedua; mereka yang mendapatkan Rp. 200.000/bulan dan ketiga; mereka yang tidak mendapatkan insentif tersebut sama sekali.

Tentu tidak proporsional jika pemerintah menuntut mutu pembelajaran yang berkualitas, sementara pemerintah melupakan aspek-aspek strategis yang menentukan kesejahteraan guru secara merata..