Monday, June 16, 2008

Kapan Orang Miskin Mengenyam Pendidikan Layak

Beberapa hari yang lalu, Sukirman sibuk menawarkan sepeda motor satu-satunya yang ia miliki. Padahal sepeda motor itu salah satu sarana transportasi untuk bisnis makanan yang ia tekuni selama ini. Akibat kenaikan BBM yang berimbas pada makin besarnya biaya produksi, membuat ia tidak mampu bertahan lagi. Apalagi putra bungsunya sebentar lagi sudah mulai masuk Sekolah Dasar. Dan bukan rahasia lagi, untuk masuk sekolah tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Memang, di negeri ini sebuah bangku sekolah itu harus "dibeli" dengan harga yang mahal, yang begitu berat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Jadi lengkap sudah penderitaan yang di alami Sukirman.

Di era sekarang ini, untuk mendaftar sekolah saja tidak semudah dibandingkan dengan era 10 tahun yang lalu. Di Batam misalnya, karena tidak sebanding antara pertumbuhan penduduk dengan pertambahan jumlah sekolah negeri maka dampaknya adalah semakin banyak siswa yang tidak tertampung. Ini tentu akan menimbulkan persoalan baru yang sekiranya tidak cepat diantisipasi maka akan berdampak pada pemiskinan sosial.


Apabila masuk sekolah swasta, maka orang tua harus rela mengeluargan biaya ekstra. Untuk masuk SD saja, diharuskan terlebih dahulu membayar uang “bangku” berkisar antara Rp 2 jutaan atau lebih. Belum termasuk biaya-biaya lain yang mencekik leher, antara lain SPP yang berkisar antara Rp 100.000-Rp 500.000 per bulan (tergantung bergengsi tidaknya sebuah sekolah), uang pakaian seragam, uang buku, uang kegiatan, dan tagihan lainnya dari sekolah. Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang punya uang, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati cerianya bangku sekolah dan atau bila memaksa akan menjadi lenih miskin gara-gara sekolah.

Disatu sisi kita mesti mengacungkan jempol atas upaya orang tua untuk menyelamatkan masa depan anak-anak mereka pada suatu tempat yang bernama “sekolah”. Tidak sedikit diantara orang tua yang rela menggadaikan segalanya demi masa depan sang anak. Bagi orangtua, sekolah tampaknya masih dijadikan pilihan utama yang bisa mengubah nasib anak-anak mereka.

Itulah potret negeri ini, negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja kata sang dalang, “negeri tanah surga karena tongkat kayu dan batu jadi tanaman” kata penyanyi Koes Ploes tapi mayoritas masyarakatnya yang miskin tidak bisa menikmati pendidikan layak. Ironi memang….

Semenjak globalisasi ala “konsensus Washington” menjadi program utama yang dianut mentah-mentah bangsa ini, sejak itu pula pemiskinan masyarakat seakan menjadi tujuan utama bangsa. Begitu pesat pertumbuhan masyarakat miskin yang semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Globalisasi adalah skenario yang telah sukses meluluhlantakkan peradaban bangsa Indonesia.

Tidak kalah mengerikan adalah diperbolehkannya kepemilikan asing sampai 49 persen dibidang usaha Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non Formal. Angka 49 persen kepemilikan asing di semua tingkat pendidikan semakin memperjelas konsep liberalisasi pasar yang justru diamini para pengambil kebijakan negeri ini.

Pendidikan merupakan sebuah upaya dalam pengembangan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, disamping menjadikan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai aklak yang mulia. Pendidikan bukan sebatas perhitungan untung-rugi, tapi lebih jauh lagi adalah ruh dan nilai “ideologi” suatu bangsa.
Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang harus bekerja terus-menerus dengan logika "efektivitas dan efisiensi" untuk menciptakan "generasi intelektual instan". Model pendidikan seperti ini kemudian mengesampingkan sebuah proses pendidikan yang di dalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil dari proses pendidikan yang hanya pada logika berfikir “untung-rugi” ini, meminjam istilah HM. Amin Rais akan menciptakan belukar nilai, belukar Weltanschaung dan belukar moral serta etika yang justru akan melahirkan generasi bermental inlander dan cenderung korup.

Sebuah pertanyaan dan kenyataan pahit yang jelas dihadapan kita adalah mengapa Pemerintah tidak dapat memenuhi amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”? Mengapa amanat Undang-Undang yang demikian penting diabaikan oleh pemerintah?

Jawabanya adalah karena pemerintah tidak punya cukup uang. Sumber daya alam kita sudah dikuasai pihak asing, perairan nasional kita sudah didominasi asing, lebih dari 50 persen perbankan nasional dikuasai asing, BUMN-BUMN kita sudah diambil-alih asing, dan yang kita kuasai sekarang adalah sekitar 40 persen masyarat Indonesia yang berada dibawah lapisan kemiskinan dan tidak mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan layak.
Lebih ironi lagi, hingga saat ini mereka yang berkantong tebal (termasuk para pengambil kebijakan) justru dapat menikmati pendidikan bermutu diluar negeri meski harus mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah perbulannya. Pertanyaannya apakah ini yang disebut “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” sementara masih banyak masyarakat yang hanya bermimpi untuk mengemyam pendidikan layak….

Sekalipun demikian, namun optimisme untuk menapak jalan yang lebih baik harus tetap dibangkitkan. Berbagai cara dan upaya guna memperbaiki system pendidikan yang sudah mengarah pada gaya kapitalisme harus terus dilakukan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakanya, swasta dengan community social responsibility dan masyarakat “mampu” dengan kepekaan sosialnya harus bersatu padu mengupayakan suatu sistem pendidikan bermutu yang bisa dijangkau oleh semua elemen masyarakat, bukan pendidikan yang semata-mata hanya berfikir untung-rugi, bukan pendidikan yang menipu bangsa, dan bukan pendidikan yang korup dengan menjadikan pelaku-pelaku pendidikan sebagai “pimpinan-pimpinan proyek”

Pendidikan bermutu tapi terjangkau (murah) adalah keharusan demi menyelamatkan negeri ini, karena tolak ukur maju tidaknya suatu negara sangat tergantung dari seberapa besar peran pendidikan dapat menyentuh semua lapisan masyarakatnya. Dan yang paling penting adalah, Pendidikan layak (bermutu) bisa dinikmati masyarakat miskin dan tidak membuat masyarakat menjadi miskin…………

Oleh: Eko Sms
Ketua Inisiator Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Provinsi Kepulauan Riau, Aktivis Pemuda Muhammadiyah Kepri.

Refleksi untuk Generasi Muda

Tulisan ini penulis sampaikan sebagai bahan refleksi Generasi muda untuk melihat berbagai persoalan bangsa yang memang sudah demikian semrawut. Generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa sudah seharusnya peka dan peduli dengan agenda-agenda globalisasi yang pada akhirnya menyandera bangsa Indonesia untuk kepentingan korporasi-korporasi asing (lebih dominan USA = United State Arogan), dan lebih parah lagi agenda-agenda tersebut di support para pengambil kebijakan kita. Lihatlah betapa kekuatan-kekuatan asing sudah mengintervensi kita dengan segala kebijakan yang menghancur-leburkan bumi pertiwi ini.

Pertanyaan dari fakta tersebut adalah .... Mengapa jutaan hektar hutan yang sudah gundul tidak dihijaukan kembali? Karena tidak ada uang.

Mengapa senjata dan peralatan militer kita sudah banyak yang usang dan tidak diperbaharui? Padahal TNI yang kyat dan tangguh dengan peralatan militer yang modern dan canggih mutlak diperlukan untukmengawal keutuhan NKRI dari rongrongan eksternal maupun internal. Karena tidak ada uang.

Mengapa anggaran untuk menanggulangi demam berdarah, flu burung dan epidemi lanilla tidak memadai? Karena tidak ada uang.

Mengapa alokasi APBN bidang pendidikan kita hanya 8 sekian persen saja dari amanat undang-undang yang seharusnya 20 persen. Padahal pendidikan merupakan ”roh” bangkit tidaknya statu bangsa. Karena tidak ada uang


Mengapa pencurian dilautan kita, kita biarkan merajalela? Mengapa kita tidak membeli papal-kapal patroli yang dapat menekuk papal para perompak kekayaan laut kita? Karena tidak ada uang.

Mengapa infrastruktur kita, jalan dan jembatan hampir diseluruh bagian Indonesia sudah lama demikian buruk dan tidak direkonstrukdi? Demi kenyamanan rakyat dan demi kelancaran ekonomi roda? Karena tidak ada uang.

Mengapa sekitar 40 % rakyat Indonesia berada dilapidan bawah kemiskinan dan belum beringsut dari nasibnya yang tetap subsistem, hidup dicekam kemiskinan dan seolah tanpa harapan? Karena tidak ada uang.

Mengapa harga BBM naik terus dari tahun ketahun yang akibatnya semakin mencekik leher rakyat. Karena tidak ada uang. Jadi mengapa Indonesia menjadi negara miskin bin melarat? Menjadi negara yang tidak punya uang cukup untuk menbangun masa depannya? Sehingga menjadi negara yang sarat hutang yang sudah kecanduan? Bukan negara gemah ripah lohjinawi tata tentrem karta raharja, seperti kata kakek-nenek kita dulu? Atau negara kolam susu, negara dimana tongkat kayu dan batu jadi tanaman seperti kata Koes Plus?

Jawabannya adalah karena kepemimpinan nasional kita bermental inlander (meminjam istilah Prof. Dr. HM Amin Rais), yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, kroni dan kelompok. Korupsi pribadi, korupsi kolektif dan korupsi yang menyandera negara (state capture corruption) sudah menjadi pemandangan lumrah dinegeri ini. Berbagai kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak pada rakyat, terbukti dengan banyaknya kebijakan yang menyandera negara untuk kepentingan koorporasi asing yang pada akhirnya menjerumuskan negara ke jurang kehancuran.

Diterbitkannya UU No. 10 / 1998 semakin mensiratkan betapa kehancuran perbankan nasional kita sudah didepan mata. Elite nasional kita sepertinya sudah gila dengan mengeluarkan kebijakan tidak adanya batasan kepemilikan asing sahan perbankan nasional, karena investor atau badan hukum asing boleh memiliki hingga 99 persen saham bank Indonesia. Angka 99 persen itu merupakan angka ajaib yang membuka pintu penjajahan ekonomi Indonesia semakin terbuka. Padahal, Amerika Serikat sebagai pemimpin puncak globalisasi dan liberalisasi ekonomi saja membatasi kepemilikan asing diperbankan nasionalnya hanya sampai 30 persen. Gila nggak ? Dampaknya…? Saat ini 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia sudah dimiliki oleh pihak asing dengan kepemilikan mayoritas. Hebatnya lagi, pihak asing bisa membeli bank-bank tersebut dengan harga 8 – 12 % dari total biaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara. Negara pun maíz harus membayar bunga obligasi sekitar Rp. 50 – 60 Trilyun setiap tahun ingá tahun 2030. Ruar Biasa….!!

Tahun 2003 pemerintah mengeluarkan UU no 19 / 2003 tentang BUMN adalah UU yang pertama di Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan privatisasi. Namur sayangnya UU tersebut justru menjadi tameng pengambill kebijakan yang secara membabi buta mencari keuntungan dengan menjual sebanyak-banyaknya BUMN kita, bukan berdasar rujukan kedaulatan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Penjualan Indosat merupakan salah satu contoh yang paling riil. Lebih gila lagi, tahun 2008 tanda-tanda privatisasi BUMN secara kalap semakin terlihat nyata. Komite privatisasi preusan BUMN sudah membuat daftar 44 BUMN yang akan dijual. Ruar Biasa…!!

UU No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi justru memunculkan pengelolaan migas yang amburadul. Dari produksi minyak nasional sebesar sekitar satu juta barel per hari sekarang ini sudah didominasi oleh korporasi asing (dimana pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barel perhari). Maka jangan heran ketika Indonesia sebagai negara penghasil minyak dan gas terbesar justru kekurangan bahan bakar. Kalau sebagian besar sumber energi kita dikuras oleh pihak asing (dan tidak transparan), maka secara rasional berapa lama negara kita akan mampu bertahan secara ekonomi? Seberapa bebas keputusan politik bisa diambil oleh para pemimpinnya? Dan yang lebih memprihatinkan lagi seberapa mal harga yang harus dibeli oleh rakyatnya dari harga BBM, TDL, ingá tarif jalan tol? Ruar Biasa….!!

Dan kebijakan-kebijakan lainnya….

Pertanyaanya adalah……, Bila sumber daya alam kita sudah dipersembahkan kapada pihak asing, perairan nasional kita sudah didominasi asing, lebih dari 50% perbankan nasional dikuasai asing, telekomunikasi juga dipegang asing (Indosat dimiliki Temasek Singapura, disamping 35% saham Telkom dan 98% saham XL juga milik asing), industri otomotof juga dikuasai asing, bahkan perjanjian kerjasama pertahanan (DCA) dengan Singapura juga telah merugikan kepentingan Pertahanan Keamanan Indonesia, lantas apa yang perlu dilakukan supaya semakin sempurna cengkeraman asing atas Indonesia, supaya semakin sempurna kehancuran Indonesia? Aneh memang, negara yang kaya raya sumber daya alam justru Semarang ini mayoritas penduduknya miskin…..

Apapun yang sudah terjadi kita harus tetap optimis untuk membenahi Indonesia yang tercinta ini. Saatnya kepemimpinan alternatif, yakni kepemimpinan Muda yang dijiwai semangat nasionalisme yang ditunaikan dengan kejujuran dan kerja keras. Hanya kepeminpinan mudalah menurut hemat penulis yang mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran yang lebih dalam lagi. SAATNYA YANG MUDA MEMIMPIN……………