Suara Muhammadiyah, online
Harus diakui bahwa kehadiran televisi telah menggantikan pola pengasuhan anak serta mengubah relasi anak dengan orangtua. Televisi telah menjadi teman setia bagi anak-anak dalam menghabiskan waktu kesehariannya.
Survei yang dilakukan oleh Kidia Jakarta menunjukan bahwa, jam menonton televisi anak-anak lebih panjang dibandingkan dengan jam belajar di sekolah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Rubert Kubey seorang pakar komunikasi dari Rutgers University menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak menghabiskan waktunya rata-rata 1.000 jam untuk melihat televisi dalam setahun ( Shinta: 2002: 153-154).
Hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bahwa, sebagian besar orang merupakan golongan heavy viewer dalam menonton televisi yaitu, 4 jam atau lebih dalam sehari dihabiskan untuk menonton televisi. Bahkan anak-anak dan remaja sebenarnya sudah banyak yang masuk dalam addictive group yaitu kelompok yang kecanduan terhadap tayangan-tayangan televisi.
Kehadiran televisi memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Tingginya intensitas anak dalam menonton tayangan televisi akan memberikan dampak buruk baik secara kognitif, perkembangan sosial, dan kerpibadian. Meski masih saja ada perdebatan tentang dampak negatif TV, namun banyak penelitian telah membuktikan hal ini. Berbagai protes yang ditayangkan oleh masyarakat dan Komisi Penyiaran Indonesia baik di tingkat lokal dan nasional nampaknya juga belum memberikan perubahan yang signifikan dalam perubahan tayangan-tayangannya. Jawaban yang diberikan oleh pihak televisi selalu didasarkan pada rating dan selera masyarakat.
Argumentasinya, karena ratingnya tinggi berarti disukai.Penelitian lain yang dilakukan berkaitan dengan dampak tayangan kekerasan terhadap perilaku kekerasan khusunya mengenai hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakukan ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi.
Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukkan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234). Bagaimana dengan program-program di televisi Indonesia? Ternyata tayangan-tayangan kekerasan masih menjadi primadona di samping mistik dan tayangan-tayangan yang berbau pornografi.
Aisyiyah dan Gerakan Media Literasi
Saat ini kita sudah hidup dalam dunia televisi; dan sulit sekali untuk ke-luar atau memusuhi dan bahkan mematikan televisi. Meskipun terdapat deretan panjang dampak buruk dari televisi, namun kita tidak bisa menghindar dari televisi yang sudah merupakan bagian dari kehidupan anak-anak. Oleh karena itu, kita harus menyikapinya secara cerdas.
Televisi sesungguhnya bagai pisau bermata ganda, pada satu sisi berdampak buruk pada anak-anak jika tingkat intensitas menonton tinggi serta tayangan yang ditonton tidak diseleksi. Namun, harus diakui juga bahwa televisi juga pada beberapa hal memberikan dampak positif yang di antaranya adalah mendorong anak mencari pengetahuan baru dan dapat menambah kosa-kata anak. Hal tersebut terkait dengan fungsi televisi sebagai salah satu media edukasi dan pemberi informasi.
Aisyiyah yang sejak awal berdirinya mempunyai komitmen terhadap dunia pendidikan, merasa terpanggil untuk memberikan kontribusi untuk menyelamatkan generasi ke depan dari pengaruh buruk televisi dengan gerakan media literacy (melek media) dan Kampanye TV Sehat. Kedua hal itu merupakan bagian penting untuk mewujudkan Keluarga Sakinah. Aisyiyah meyakini bahwa, keluarga merupakan institusi yang kuat dalam mendukung munculnya generasi-generasi yang Rabbani serta negara yang kuat. Melalui keluargalah sesungguhnya sosialisasi nilai-nilai akan diinternalisasikan.
Terkait dengan dampak negatif televisi ini, keluarga menjadi pilar yang penting dalam membentengi anak-anak. Melalui media literacy, setiap keluarga harus memberikan perhatian dan kepedulian terhadap anak-anak mereka dalam hal pola-pola anak menonton televisi. Keluarga diharapkan akan menjadi komunitas-komunitas terkecil yang selalu kritis dan cerdas dalam menyikapi tayangan-tayangan televisi yang banyak memberikan dampak negatif pada anak-anak.
Untuk melakukan gerakan media literacy dalam rangka mendukung keluarga sakinah ini, strategi yang dilakukan oleh Aisyiyah melalui keluarga dan sekolah. Untuk menjangkau sampai tingkat keluarga, Aisyiyah melakukan pelatihan dan sosialisasi melalui aktivis-aktivis Aisyiyah di tingkat Cabang dan Ranting. Media sosial yang digunakan adalah kelom-pok pengajian, arisan, PKK maupun Posyandu. Agar ada sinergisitas dalam gerakan, kelompok guru di sekolah merupakan kelompok yang potensial sehingga, adanya pendidikan media literasi di sekolah bersinergi dengan gerakan media literasi di tingkat komunitas melalui aktivis-aktivis Aisyiyah di tingkat ranting. Gerakan ini menjadi gerakan bersama di tingkat nasional. Aisyiyah juga bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain yang mempunyai kepedulian yang sama, seperti Komisi Penyiaran Indonesia di daerah-daerah serta lembaga-lembaga Media Watch.
Kekuatan kapital yang sangat besar yang dimiliki oleh media sangat sulit dijinakkan agar bersahabat dengan anak-anak. Oleh karena itu, gerakan media literasi merupakan salah satu strategi untuk memperkuat masyarakat ketika harus berhadapan dengan para pemilik modal yang sangat besar. Menjadi penonton yang kritis terhadap tayangan-tayangan televisi merupakan pilihan yang cerdas untuk membentengi keluarga-keluarga Indonesia dari dampak negatif buruk televisi.
Sinergisitas gerakan ini, Aisyiyah ingin melakukan gerakan membaca dalam keluarga dan komunitas melalui perpustakaan keluarga dan komunitas. Menurunnya minat baca di kalangan generasi muda dan anak-anak, salah satunya disebabkan oleh tingginya intensitas anak-anak dalam menonton televisi. Oleh karena itu, untuk mendukung gerakan media literasi ini membangun perpustakaan di keluarga dan komunitas merupakan salah satu alternatif untuk memberikan aktivitas-aktivitas yang positif kepada anak-anak dan masyarakat.Terdapat tiga hal penting mengapa kita harus kritis terhadap media: pertama, pesan-pesan yang disampaikan oleh media itu dikontruksi. Artinya, ada kepentingan yang dibawa oleh media massa (televisi); dan seringkali bukan cerminan realitas sosial. Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh media tidak semuanya riil namun seringkali berupa citra yang diciptakan untuk menimbulkan efek-efek tertentu sehingga menarik untuk ditonton, termasuk ketika menggambarkan hal-hal yang mistis atau dunia ghaib.
Kedua, sebuah peristiwa yang sama akan dikonstruksi atau disampaikan berbeda oleh media sesuai dengan kepentingannya. Media massa (televisi) bukanlan institusi yang netral dan tidak punyai kepentingan, dalam diri institusi media massa selalu terkandung nilai-nilai dan ideologi.
Ketiga, tayangan televisi selalu mengandung implikasi-implikasi komersial. Hal ini penting disampaikan juga kepada anak-anak bahwa, iklan-iklan yang ditayangkan di televisi memang dibuat untuk menarik anak-anak sehingga tertarik membeli.
Oleh karena itu, memahami cara kerja media menjadi bagian yang sangat penting dalam melakukan media literasi. Di samping penting untuk memahami cara kerja media, sebagai konsumen sangat disarankan juga untuk memahami bagaimana aturan-aturan tentang penyiaran termasuk dalam beriklan.
Selanjutnya sikap-sikap kritis terhadap media ini menjadikan kita mampu untuk memilih informasi yang kita akses dan memahami benar apakah institusi media melanggar aturan-aturan yang sudah ada ataukah tidak.
Menjadikan TV Sebagai Media Belajar
Sekali lagi sulit untuk menghindar dari televisi. Untuk itulah, gerakan media literacy di Aisyiyah diarahkan pada Kampanye Menonton TV secara sehat dan menajadikan televisi sebagai sumber belajar.
Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan TV sehat, maka sebagai orangtua ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar anak-anak menjadikan televisi sebagai sumber belajar. Pertama, buatlah kesepakatan dengan anak-anak tentang jadwal menonton televisi. Program acara apa saja yang akan ditontonnya. Jangan biarkan anak-anak menonton TV secara acak tanpa direncanakan. Kedua, buatlah tempat membaca lebih nyaman daripada ruang televisi. Ketiga, hal yang ideal adalah mendampingi anak-anak menonton televisi. Keempat, menjadikan televisi sebagai teman belajar anak. Kita tidak dapat menghakimi bahwa, semua acara di televisi dapat dianggap sebagai acara yang tidak sehat bagi anak dan remaja. Untuk itu, buatlah daftar acara yang sehat dengan menggunakan tips-tips yang telah disebut di atas untuk menentukan acara yang sehat bagi anak.
Tri Hastuti Nur R, Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
Harus diakui bahwa kehadiran televisi telah menggantikan pola pengasuhan anak serta mengubah relasi anak dengan orangtua. Televisi telah menjadi teman setia bagi anak-anak dalam menghabiskan waktu kesehariannya.
Survei yang dilakukan oleh Kidia Jakarta menunjukan bahwa, jam menonton televisi anak-anak lebih panjang dibandingkan dengan jam belajar di sekolah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Rubert Kubey seorang pakar komunikasi dari Rutgers University menyatakan bahwa sebagian besar anak-anak menghabiskan waktunya rata-rata 1.000 jam untuk melihat televisi dalam setahun ( Shinta: 2002: 153-154).
Hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bahwa, sebagian besar orang merupakan golongan heavy viewer dalam menonton televisi yaitu, 4 jam atau lebih dalam sehari dihabiskan untuk menonton televisi. Bahkan anak-anak dan remaja sebenarnya sudah banyak yang masuk dalam addictive group yaitu kelompok yang kecanduan terhadap tayangan-tayangan televisi.
Kehadiran televisi memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Tingginya intensitas anak dalam menonton tayangan televisi akan memberikan dampak buruk baik secara kognitif, perkembangan sosial, dan kerpibadian. Meski masih saja ada perdebatan tentang dampak negatif TV, namun banyak penelitian telah membuktikan hal ini. Berbagai protes yang ditayangkan oleh masyarakat dan Komisi Penyiaran Indonesia baik di tingkat lokal dan nasional nampaknya juga belum memberikan perubahan yang signifikan dalam perubahan tayangan-tayangannya. Jawaban yang diberikan oleh pihak televisi selalu didasarkan pada rating dan selera masyarakat.
Argumentasinya, karena ratingnya tinggi berarti disukai.Penelitian lain yang dilakukan berkaitan dengan dampak tayangan kekerasan terhadap perilaku kekerasan khusunya mengenai hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakukan ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi.
Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukkan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234). Bagaimana dengan program-program di televisi Indonesia? Ternyata tayangan-tayangan kekerasan masih menjadi primadona di samping mistik dan tayangan-tayangan yang berbau pornografi.
Aisyiyah dan Gerakan Media Literasi
Saat ini kita sudah hidup dalam dunia televisi; dan sulit sekali untuk ke-luar atau memusuhi dan bahkan mematikan televisi. Meskipun terdapat deretan panjang dampak buruk dari televisi, namun kita tidak bisa menghindar dari televisi yang sudah merupakan bagian dari kehidupan anak-anak. Oleh karena itu, kita harus menyikapinya secara cerdas.
Televisi sesungguhnya bagai pisau bermata ganda, pada satu sisi berdampak buruk pada anak-anak jika tingkat intensitas menonton tinggi serta tayangan yang ditonton tidak diseleksi. Namun, harus diakui juga bahwa televisi juga pada beberapa hal memberikan dampak positif yang di antaranya adalah mendorong anak mencari pengetahuan baru dan dapat menambah kosa-kata anak. Hal tersebut terkait dengan fungsi televisi sebagai salah satu media edukasi dan pemberi informasi.
Aisyiyah yang sejak awal berdirinya mempunyai komitmen terhadap dunia pendidikan, merasa terpanggil untuk memberikan kontribusi untuk menyelamatkan generasi ke depan dari pengaruh buruk televisi dengan gerakan media literacy (melek media) dan Kampanye TV Sehat. Kedua hal itu merupakan bagian penting untuk mewujudkan Keluarga Sakinah. Aisyiyah meyakini bahwa, keluarga merupakan institusi yang kuat dalam mendukung munculnya generasi-generasi yang Rabbani serta negara yang kuat. Melalui keluargalah sesungguhnya sosialisasi nilai-nilai akan diinternalisasikan.
Terkait dengan dampak negatif televisi ini, keluarga menjadi pilar yang penting dalam membentengi anak-anak. Melalui media literacy, setiap keluarga harus memberikan perhatian dan kepedulian terhadap anak-anak mereka dalam hal pola-pola anak menonton televisi. Keluarga diharapkan akan menjadi komunitas-komunitas terkecil yang selalu kritis dan cerdas dalam menyikapi tayangan-tayangan televisi yang banyak memberikan dampak negatif pada anak-anak.
Untuk melakukan gerakan media literacy dalam rangka mendukung keluarga sakinah ini, strategi yang dilakukan oleh Aisyiyah melalui keluarga dan sekolah. Untuk menjangkau sampai tingkat keluarga, Aisyiyah melakukan pelatihan dan sosialisasi melalui aktivis-aktivis Aisyiyah di tingkat Cabang dan Ranting. Media sosial yang digunakan adalah kelom-pok pengajian, arisan, PKK maupun Posyandu. Agar ada sinergisitas dalam gerakan, kelompok guru di sekolah merupakan kelompok yang potensial sehingga, adanya pendidikan media literasi di sekolah bersinergi dengan gerakan media literasi di tingkat komunitas melalui aktivis-aktivis Aisyiyah di tingkat ranting. Gerakan ini menjadi gerakan bersama di tingkat nasional. Aisyiyah juga bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain yang mempunyai kepedulian yang sama, seperti Komisi Penyiaran Indonesia di daerah-daerah serta lembaga-lembaga Media Watch.
Kekuatan kapital yang sangat besar yang dimiliki oleh media sangat sulit dijinakkan agar bersahabat dengan anak-anak. Oleh karena itu, gerakan media literasi merupakan salah satu strategi untuk memperkuat masyarakat ketika harus berhadapan dengan para pemilik modal yang sangat besar. Menjadi penonton yang kritis terhadap tayangan-tayangan televisi merupakan pilihan yang cerdas untuk membentengi keluarga-keluarga Indonesia dari dampak negatif buruk televisi.
Sinergisitas gerakan ini, Aisyiyah ingin melakukan gerakan membaca dalam keluarga dan komunitas melalui perpustakaan keluarga dan komunitas. Menurunnya minat baca di kalangan generasi muda dan anak-anak, salah satunya disebabkan oleh tingginya intensitas anak-anak dalam menonton televisi. Oleh karena itu, untuk mendukung gerakan media literasi ini membangun perpustakaan di keluarga dan komunitas merupakan salah satu alternatif untuk memberikan aktivitas-aktivitas yang positif kepada anak-anak dan masyarakat.Terdapat tiga hal penting mengapa kita harus kritis terhadap media: pertama, pesan-pesan yang disampaikan oleh media itu dikontruksi. Artinya, ada kepentingan yang dibawa oleh media massa (televisi); dan seringkali bukan cerminan realitas sosial. Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh media tidak semuanya riil namun seringkali berupa citra yang diciptakan untuk menimbulkan efek-efek tertentu sehingga menarik untuk ditonton, termasuk ketika menggambarkan hal-hal yang mistis atau dunia ghaib.
Kedua, sebuah peristiwa yang sama akan dikonstruksi atau disampaikan berbeda oleh media sesuai dengan kepentingannya. Media massa (televisi) bukanlan institusi yang netral dan tidak punyai kepentingan, dalam diri institusi media massa selalu terkandung nilai-nilai dan ideologi.
Ketiga, tayangan televisi selalu mengandung implikasi-implikasi komersial. Hal ini penting disampaikan juga kepada anak-anak bahwa, iklan-iklan yang ditayangkan di televisi memang dibuat untuk menarik anak-anak sehingga tertarik membeli.
Oleh karena itu, memahami cara kerja media menjadi bagian yang sangat penting dalam melakukan media literasi. Di samping penting untuk memahami cara kerja media, sebagai konsumen sangat disarankan juga untuk memahami bagaimana aturan-aturan tentang penyiaran termasuk dalam beriklan.
Selanjutnya sikap-sikap kritis terhadap media ini menjadikan kita mampu untuk memilih informasi yang kita akses dan memahami benar apakah institusi media melanggar aturan-aturan yang sudah ada ataukah tidak.
Menjadikan TV Sebagai Media Belajar
Sekali lagi sulit untuk menghindar dari televisi. Untuk itulah, gerakan media literacy di Aisyiyah diarahkan pada Kampanye Menonton TV secara sehat dan menajadikan televisi sebagai sumber belajar.
Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan TV sehat, maka sebagai orangtua ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar anak-anak menjadikan televisi sebagai sumber belajar. Pertama, buatlah kesepakatan dengan anak-anak tentang jadwal menonton televisi. Program acara apa saja yang akan ditontonnya. Jangan biarkan anak-anak menonton TV secara acak tanpa direncanakan. Kedua, buatlah tempat membaca lebih nyaman daripada ruang televisi. Ketiga, hal yang ideal adalah mendampingi anak-anak menonton televisi. Keempat, menjadikan televisi sebagai teman belajar anak. Kita tidak dapat menghakimi bahwa, semua acara di televisi dapat dianggap sebagai acara yang tidak sehat bagi anak dan remaja. Untuk itu, buatlah daftar acara yang sehat dengan menggunakan tips-tips yang telah disebut di atas untuk menentukan acara yang sehat bagi anak.
Tri Hastuti Nur R, Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
No comments:
Post a Comment