Suara Muhammadiyah, January 28th, 2008
Saat ini hampir tidak ada satu keluarga pun di Indonesia yang tidak mempunyai televisi. Bahkan, banyak pula keluarga yang mempunyai lebih dari satu televisi karena, perbedaan selera acara antar anggota keluarga dalam suatu rumah tangga tersebut. Banyak hasil Penelitian yang mengungkapkan kalau mayoritas waktu terjaga anak usia pra-sekolah di Indonesia dihabiskan untuk duduk di hadapan televisi, dan pada hari libur anak-anak usia sekolah juga lebih banyak menghabiskan waktunya dengan memelototi layar kaca itu dari pada untuk kegiatan bersosialasi. Kesehatan fisik dan mental anak juga banyak yang terganggu karenanya.
Tidak ada lagi waktu bagi anak Indonesia untuk belajar mengaji, bermain gobak sodor di bawah bulan purnama, petak umpet bersama teman sebaya, maupun sekedar bermain gundu sambil bertukar cerita bersama keluarga.
Ancaman kegemukan, radang otot (karena kurang gerak), mata rabun, sampai anak-anak yang a-sosial dan kelahiran generasi yang lumpuh menulis dan gagap membaca tetapi gemar menonton adalah realitas yang nyata yang mesti terjadi. Lebih parah lagi, semua tontonan yang disuguhkan semua stasiun TV itu nyaris tidak ada yang bernuansa pro-pendidikan dan pro-keluhuran budi. 97% acara yang ditayangkan adalah tayangan sampah yang merusak kesehatan jiwa dan jasmani manusia Idonesia.
Semua dampak negatif di atas luput dari perhatian semua pihak, karena, sesunguhnya dunia televisi sekarang ini telah menjelma menjadi industri penghasil uang skala besar. Logika kapitalismenya yang ganas dan serakah ini telah menciptakan kehidupan baru yang benar-benar sekuler dan sepenuhnya komersil, tata nilai agama dan keadiluhungan budaya semua dikesampingkan demi mengejar keuntungan. Sentimen agama dan rasa budaya seringkali justeru dikomersilkan secara terang-terangan.
Tayangan agama yang datar dan mengambang, skenario sinetron yang tidak berpijak dari kenyataan masyarakat, komedi yang kasar dan melecehkan rasa kemanusiaan, kisah religi yang absurd, tawaran mimpi lewat ajang idola instan, pengundian nasib dengan sms, adalah racun-racun yang setiap hari kita hirup dari ruang keluarga kita. Semua tayangan sampah itu hanya diseling sedikit tayangan berita, yang juga masih sering diserobot dengan tayangan berita-berita yang sarat dengan adegan kekerasan yang berdarah-darah.
Dalam keadaan yang sudah seperti ini, mengutuk dan mendemo stasiun TV dan PH sinetron adalah upaya yang sia-sia. Karena, kepentingan modal dan kekuatan kapital terbukti sudah mampu membeli dan medikte semua aturan legal yang ada di negeri ini. Dalam keadaan seperti ini Dirjen Dikmenum Depdikanas RI, Prof. Suyanto dengan berseloroh pernah menyatakan kalau sebenarnya di negeri ini masih ada lembaga sensor yang dapat mengontrol semua acara televisi di Indoneia. Lembaga itu adalah tangan ibu-ibu yang greteh mematikan TV kita.
Bisakah keluarga Indonesia hidup tanpa TV dalam satu bulan? Kalau bisa maka semua kekuatan yang meracuni ruang keluarga kita itu akan lemas dengan sendirinya. Matikan TV anda sekarang juga..!! Bahan dan tulisan: isma
Saat ini hampir tidak ada satu keluarga pun di Indonesia yang tidak mempunyai televisi. Bahkan, banyak pula keluarga yang mempunyai lebih dari satu televisi karena, perbedaan selera acara antar anggota keluarga dalam suatu rumah tangga tersebut. Banyak hasil Penelitian yang mengungkapkan kalau mayoritas waktu terjaga anak usia pra-sekolah di Indonesia dihabiskan untuk duduk di hadapan televisi, dan pada hari libur anak-anak usia sekolah juga lebih banyak menghabiskan waktunya dengan memelototi layar kaca itu dari pada untuk kegiatan bersosialasi. Kesehatan fisik dan mental anak juga banyak yang terganggu karenanya.
Tidak ada lagi waktu bagi anak Indonesia untuk belajar mengaji, bermain gobak sodor di bawah bulan purnama, petak umpet bersama teman sebaya, maupun sekedar bermain gundu sambil bertukar cerita bersama keluarga.
Ancaman kegemukan, radang otot (karena kurang gerak), mata rabun, sampai anak-anak yang a-sosial dan kelahiran generasi yang lumpuh menulis dan gagap membaca tetapi gemar menonton adalah realitas yang nyata yang mesti terjadi. Lebih parah lagi, semua tontonan yang disuguhkan semua stasiun TV itu nyaris tidak ada yang bernuansa pro-pendidikan dan pro-keluhuran budi. 97% acara yang ditayangkan adalah tayangan sampah yang merusak kesehatan jiwa dan jasmani manusia Idonesia.
Semua dampak negatif di atas luput dari perhatian semua pihak, karena, sesunguhnya dunia televisi sekarang ini telah menjelma menjadi industri penghasil uang skala besar. Logika kapitalismenya yang ganas dan serakah ini telah menciptakan kehidupan baru yang benar-benar sekuler dan sepenuhnya komersil, tata nilai agama dan keadiluhungan budaya semua dikesampingkan demi mengejar keuntungan. Sentimen agama dan rasa budaya seringkali justeru dikomersilkan secara terang-terangan.
Tayangan agama yang datar dan mengambang, skenario sinetron yang tidak berpijak dari kenyataan masyarakat, komedi yang kasar dan melecehkan rasa kemanusiaan, kisah religi yang absurd, tawaran mimpi lewat ajang idola instan, pengundian nasib dengan sms, adalah racun-racun yang setiap hari kita hirup dari ruang keluarga kita. Semua tayangan sampah itu hanya diseling sedikit tayangan berita, yang juga masih sering diserobot dengan tayangan berita-berita yang sarat dengan adegan kekerasan yang berdarah-darah.
Dalam keadaan yang sudah seperti ini, mengutuk dan mendemo stasiun TV dan PH sinetron adalah upaya yang sia-sia. Karena, kepentingan modal dan kekuatan kapital terbukti sudah mampu membeli dan medikte semua aturan legal yang ada di negeri ini. Dalam keadaan seperti ini Dirjen Dikmenum Depdikanas RI, Prof. Suyanto dengan berseloroh pernah menyatakan kalau sebenarnya di negeri ini masih ada lembaga sensor yang dapat mengontrol semua acara televisi di Indoneia. Lembaga itu adalah tangan ibu-ibu yang greteh mematikan TV kita.
Bisakah keluarga Indonesia hidup tanpa TV dalam satu bulan? Kalau bisa maka semua kekuatan yang meracuni ruang keluarga kita itu akan lemas dengan sendirinya. Matikan TV anda sekarang juga..!! Bahan dan tulisan: isma
1 comment:
betul, saya sepakat untuk mematikan tv kita sekalian. artinya harus ada pembatasan untuk mengakses tv. bukan edukasi yang kita terima tapi malah pembodohan.
salam
Post a Comment